Di era digital, simpati publik ibarat pedang bermata dua yang paling tajam. Ia memiliki kekuatan untuk mengangkat seseorang ke puncak popularitas dalam sekejap mata, namun di saat berikutnya, bilah yang sama dapat berbalik menebas, meninggalkan kehancuran. Tidak ada kisah yang lebih menggambarkan dinamika kejam ini selain drama berliku yang baru saja melibatkan artis Erika Carlina dan DJ Panda.
Narasi kompleks ini menceritakan bagaimana peran “korban” dan “pelaku” dapat bertukar tempat dengan kecepatan kilat, bagaimana sebuah arsip digital bertransformasi menjadi senjata pemusnah massal, dan bagaimana ribuan netizen secara serentak menjelma menjadi hakim, juri, sekaligus algojo dalam sebuah pengadilan maya.
Mari kita putar ulang film ini dari awal, adegan per adegan, untuk memahami bagaimana badai opini publik ini terbentuk dan mengikis batas-batas simpati.
Awalnya dapat simpati saat hamil, Erika Carlina dihujat setelah video lawasnya viral. Simpati publik kini berbalik mendukung DJ Panda yang klarifikasi. – Tiyarman Gulo
Tangis Sang Ratu Pesta, Gelombang Simpati Menggila
Kisah ini bermula di panggung siniar YouTube Deddy Corbuzier yang disaksikan jutaan pasang mata. Erika Carlina, sosok yang dikenal sebagai model dan ‘queen of party’, tampil dengan pengakuan mengejutkan: ia sedang hamil sembilan bulan di luar nikah. Pria yang disebut bertanggung jawab, DJ Panda, dituding tidak hanya meninggalkannya dalam kondisi rentan, tetapi juga melontarkan ancaman.
Seketika, jagat maya meledak. Narasi yang terbentuk begitu jelas dan sederhana: seorang perempuan tangguh yang teraniaya dan ditinggalkan di masa paling rapuh. Badai simpati publik mengalir deras untuk Erika. Ia dipuji atas keberaniannya mengakui kondisi tersebut. Sebaliknya, DJ Panda langsung dicap sebagai antagonis. Kolom komentarnya dibanjiri hujatan, dan sanksi sosial pun datang tanpa ampun, bahkan berujung pada pembatalan sejumlah pekerjaannya. Sampai di titik ini, ceritanya tampak hitam dan putih; Erika adalah korban, Panda adalah pelaku.
Sang ‘Terdakwa’ Bicara, Arus Mulai Berbalik
Seperti tradisi drama modern, panggung klarifikasi berpindah. DJ Panda, yang nama aslinya Giovanni Surya Saputra, muncul di siniar YouTube Denny Sumargo. Namun, alih-alih membela diri dengan angkuh, ia melakukan sesuatu yang tidak terduga: ia mengakui kesalahannya, menunjukkan penyesalan mendalam, dan menyatakan kesiapannya untuk bertanggung jawab penuh.
“Kalau memang itu anak saya, saya harus tanggung jawab, kan saya bapaknya,” ujarnya dengan nada penuh penyesalan. Ia bahkan menceritakan bagaimana ia dimarahi habis-habisan oleh keluarganya dan kini siap mempertemukan orang tuanya dengan keluarga Erika. Pengakuan yang tulus dan sikap yang “legowo” ini menjadi titik balik krusial. Publik, yang tadinya hanya melihat sosok monster, kini melihat seorang pemuda yang khilaf namun siap menanggung konsekuensi. Perlahan tapi pasti, pendulum simpati publik mulai berayun ke arah yang berlawanan.
Jejak Digital Itu Kejam, Bumerang Menghantam Erika
Ketika simpati untuk DJ Panda mulai tumbuh, netizen yang kini merasa curiga pada narasi awal Erika, berubah menjadi detektif digital yang ulung. Mereka mulai menggali “arsip” masa lalu Erika, dan apa yang mereka temukan menjadi bensin yang membakar habis seluruh simpati yang pernah ia dapatkan.
Sederet video lawasnya diunggah ulang dan menjadi viral:
- Pengakuan ‘Ngebungkus’: Di sebuah siniar, Erika dengan bangga menyatakan bahwa ia bukanlah perempuan yang “dibungkus” (dibawa pulang pria setelah pesta), melainkan ia yang “ngebungkus”. “Aku dominan,” tegasnya.
- Gaya Pacaran Bebas: Di video lain, ia menyebut bahwa kekasihnya bisa bebas melakukan apa saja pada dirinya. “Pengalaman nggak bisa bohong,” tambahnya.
- Menggoda Pria Lebih Muda: Momen saat ia terang-terangan menggoda El Rumi, yang usianya enam tahun lebih muda darinya, juga kembali diangkat dan menjadi sorotan.
Kumpulan jejak digital ini menciptakan narasi tandingan yang sangat kuat. Citra “korban yang tak berdaya” hancur seketika, digantikan oleh citra “perempuan dominan dan liberal secara seksual”. Bagi sebagian besar netizen, narasi baru ini tidak sinkron dengan status korban yang ia klaim. Hujatan pun berbalik 180 derajat. Kolom komentar Erika, yang tadinya penuh dukungan, kini dibanjiri caci maki. “Dia yg Ngebungkus dia yg korban,” tulis seorang warganet, menyimpulkan sentimen baru itu. “Queen of party lagi nyari simpati aww,” sindir yang lain. Bahkan, seruan boikot mulai menggema: “Cancel dua2nya biar adil. Stop normalisasi hamil diluar nikah!”
Di sisi lain, DJ Panda yang dulunya dijuluki “Oppa Lokal” kini panen dukungan. Ia dianggap sebagai pria yang berani mengakui kesalahan, sementara Erika dianggap “playing victim” dan mencoba memanfaatkan situasi.
Drama Hukum di Dunia Nyata
Saat pengadilan media sosial sedang sibuk membolak-balikkan nasib mereka, drama ini memasuki babak baru di dunia nyata: jalur hukum. Erika melaporkan DJ Panda ke Polda Metro Jaya. Tuduhannya serius: menyebarkan ancaman akan menghancurkan kariernya, menyebar foto USG di grup WhatsApp, dan melakukan fitnah dengan menyebut Erika seorang psikopat serta meragukan status anak yang dikandungnya.
Ini adalah langkah logis bagi siapa pun yang merasa diancam dan difitnah. Namun, di mata publik yang sudah terlanjur berpihak pada Panda, langkah hukum ini justru sering kali dianggap sebagai “serangan balasan” yang membuat Erika terlihat semakin tidak simpatik. Ketika ditanya soal laporan polisi ini, jawaban Panda di siniar Densu kembali menuai simpati. Saat ditanya apakah ia siap jika harus dipenjara, ia menjawab, “Legowo. Takut pasti takut tapi saya legowo.” Sikap pasrah ini semakin memantapkan posisinya sebagai “pria yang siap menanggung akibat” di mata publik.
Pelajaran Pahit dari Sebuah Drama Viral
Kisah Erika Carlina dan DJ Panda adalah pelajaran mahal tentang betapa kompleksnya sebuah hubungan dan betapa sederhananya cara media sosial menghakimi. Tidak ada yang sepenuhnya suci dan tidak ada yang sepenuhnya jahat dalam cerita ini. Keduanya membuat kesalahan dan memiliki sisi gelapnya sendiri.
Namun, yang lebih menakutkan adalah bagaimana kita, sebagai audiens, dengan begitu cepatnya memberikan label, membangun narasi, dan menghancurkannya lagi berdasarkan potongan-potongan informasi yang disajikan. Jejak digital kini telah menjadi senjata paling efektif di era ini. Apa yang kamu katakan lima tahun lalu bisa digunakan untuk menghancurkanmu hari ini. Dan simpati, yang seharusnya menjadi bentuk empati murni, kini telah menjadi komoditas fana yang bisa ditarik kembali kapan saja, bahkan diubah menjadi kebencian yang meluap-luap. Cerita drama viral ini bukan lagi soal siapa yang benar atau salah, tapi soal siapa yang punya narasi paling meyakinkan di episode terbaru pengadilan media sosial yang tak pernah usai.
Ringkasan
Erika Carlina, yang awalnya mendapat simpati publik karena mengaku hamil di luar nikah dan ditinggalkan DJ Panda, kini justru dihujat netizen. Hal ini terjadi setelah video lawas Erika viral, menampilkan dirinya yang dominan dan liberal secara seksual, sehingga citra “korban tak berdaya” yang sebelumnya dibangun hancur.
DJ Panda, yang sebelumnya dihujat, kini justru mendapat dukungan setelah mengakui kesalahan dan menyatakan kesiapannya bertanggung jawab. Erika kemudian melaporkan DJ Panda ke polisi, namun langkah ini justru semakin membuat netizen tidak simpatik, karena dianggap sebagai “serangan balasan” setelah citra Erika yang negatif kembali mencuat.